Dunia sudah diakhir zaman, umpama matahari yang sedang terbenam. Sudahkah kita bersedia menghadapinya? ATAU kita masih bersuka-suka dan leka dengan kesukaan kita...
Wednesday, October 31, 2007
Istigfar Amalan Paling Disenangi Allah
Oleh : Uti Konsen U.M
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda : "Setiap anak Adam gemar berbuat salah dan orang terbaik diantara yang bersalah adalah yang bertaubat".
Begitu utamanya bertaubat, Rasulullah SAW orang yang telah maksum, dijamin bebas dari semua dosa dan sudah dipastikan oleh Allah masuk kedalam sorga yang paling "VIP", setiap harinya tidak kurang beliau mengucapkan istigfar. Ujarnya : "Demi Allah, sesungguhnya aku selalu mohon ampunan kepada Allah sehari semalam lebih dari 70 kali" ( HR.Bukhari ).
Seorang ulama Salaf berkata : "Setiap seorang hamba berbuat dosa, bumi tempat ia berdiri meminta keizinan Tuhan untuk membenamkannya dan langit yang di atas kepalanya nemohon izin untuk gugur menimpanya. Tetapi Tuhan berfirman pada bumi dan langit itu, 'Tahanlah bahaya untuk hamba-Ku dan beri dia waktu. Mungkin dia bertaubat pada-Ku, lalu Aku ampunkan dan mungkin saja dia menggantikan kerja buruknya dengan amalan yang baik, lalu Aku gantikan dosanya dengan pahala". Inilah yang dimaksud dengan firman-Nya : "Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi dari terjatuh dan kalau keduanya terjatuh tiada seorangpun yang akan bisa menahan selain Dia" (QS. Fathir 41).
Dalam satu hadis Qudsi Tuhan berfirman : "Wahai anak Adam, selama engkau berdoa kepada-Ku, berharap dan meminta ampun, niscaya Aku mengampunimu dan tak Ku-pedulikan ( berapa besar dosamu ). Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu ( menumpuk ) hingga mencapai sejauh mata memandang langit, lalu engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu. Wahai anak Adam, seandainya engkau menjumpai-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkankamu ketika mati berada dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Ku, niscaya Aku menyambutmu dengan ampunan sepenuh bumi pula." ( HR.Turmuzi ).
Siti Aisyah RA pernah bertanya kepada Nabi SAW : "Ya Rasulullah !. Apakah ada umatmu yang nanti dapat masuk surga tanpa hisab ?". Beliau menjawab : "Ada. Yaitu orang yang mengingat dosanya lalu dia menangis". Karena itu Umul Mukminin itu pernah berkata : "Beruntunglah orang yang mendapati istigfar yang banyak dalam catatan amalnya".
Para Arifin, orang bijak, juga berpesan : "Sesungguhnya ibadah dalam bentuk taubat adalah salah satu ibadah yang paling disenangi oleh Allah dan paling mulia disisi-Nya. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat". Abu Al Manhal menegaskan : "Tidak ada tetangga yang lebih disukai seorang hamba dalam kuburnya daripada istigfar yang banyak".
Pernah beberapa orang lelaki menemui ulama besar kota Basrah, Al Hasan Al Basri. Mereka mengeluh. Yang pertama mengeluh, karena hidupnya miskin. Yang kedua mengeluh karena sudah lama menikah tapi belum dikaruniai anak. Berikutnya mengeluh karena tanah pertaniannya sudah tidak subur lagi. Dan yang terakhir mengeluh karena hujan sudah lama tidak turun. Solusi yang diberikan oleh tokoh sufi ini kepada masing-masing orang ialah : "Perbanyaklah istigfar kepada Allah". Diantara mereka ada yang memberanikan diri bertanya : "Wahai pak kiai, kenapa setiap kami bertanya selalu dijawab 'perbanyaklah istigfar kepada Allah". Dengan mantap beliau menjawab : "Tidakkah kalian membaca surah Nuh ayat 10 'Mohon ampunlah kepada Tuhanmu. Sungguh Ia Maha Pengampun. Akan diturunkan-Nya hujan dari langit berlimpahan. Akan diberi-Nya harta kekayaan dan putra-putra. Akan diberi-Nya kamu taman-taman. Dan disediakan-Nya bagimu sungai-sungai." Dalam kesempatan lain Ulama Besar ini banyak mengajak kaumnya : "Perbanyaklah istigfar di rumahmu, di tengah perjalanan, di pasar, ditempat kerja, di pertemuan-pertemuan dan dimana pun dirimu berada saat itu. Sebab engkau tidak akan tahu di tempat manakah turunnya magfirah Tuhanmu".
Kiat yang sama juga dilakukan oleh Umar bin Khattab RA. Tatkala dalam masa pemerintahannya terjadi paceklik akibat musim kemarau panjang, beliau mengajak rakyatnya berkumpul di lapangan terbuka untuk mengadakan salat istisqa, salat minta hujan. Yang menjadi Imam dan bertindak sebagai khotib ialah Umar sendiri. Khotbahnya cukup pendek. Isinya mengajak mereka untuk banyak beristigfar secara khusyuk dan tawadhu. Dengan ijin Allah, tidak lama kemudian hujanpun turun dengan lebat.
Diantara keutamaan beristigfar ialah bahwa para malaikat Muqarrabin memintakan ampunan bagi orang-orang yang bertaubat, lalu mendoakan mereka agar dijauhkan dari siksa neraka dan dimasukan ke dalam surga yang penuh kenikmatan (QS. Ghafir (40) ayat 7-9).
Orang yang rajin dan istiqamah beristigfar ketika di duniapun mereka sudah diberikan banyak kemudahan oleh Allah SWT. seperti yang dijanjikan oleh Rasulullah SAW : "Barangsiapa membanyakkan istigfar niscaya dijadikan Allah baginya kelapangan dari tiap-tiap kesusahan dan jalan keluar dari tia-tiap kesempitan dan dianugerahkan rezeki dari jalan yang tidak diduganya " ( HR. Abu Daud, An Nasai, Ibnu Majah dan Al Hakim).
Adapun waktu yang terbaik untuk memohon ampunan Allah ialah sepertiga malam yang akhir seperti ditegaskan Allah SWT dalam Al Quran surah Azd-Dzariat 18 , "Dan di akhir malam mereka memohon ampun". Kemudian Rasulullah SAW menguatkan : "Pada setiap malam Allah turun ke langit dunia, ketika tinggal tersisa sepertiga terakhir, lalu berfirman ' Siapa yang berdoa kepada-Ku, lalu Aku kabulkan doanya. Siapa yang meminta kepada-Ku, lalu Aku berikan permintaannya. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku lalu Aku ampuni dia ." (HR.Muslim).
Seperti dikatakan oleh Siti Aisyah RA, berbahagialah orang yang dalam cacatan amalnya banyak beristigfar. Sebab Rasulullah SAW. bersabda : " Orang yang bertaubat dari dosanya seperti orang yang sama sekali tidak mempunyai dosa".
Wallahualam.
Tuesday, October 30, 2007
Apakah dia istidraj itu?
Ianya adalah pemberian nikmat Allah kepada manusia yang mana pemberian itu tidak diredhaiNya. Inilah yang dinamakan istidraj.
Rasullulah s. a.w. bersabda :"Apabila kamu melihat bahawa Allah Taala memberikan nikmat kepada hambanya yang selalu membuat maksiat (durhaka),ketahuila h bahawa orang itu telah diistidrajkan oleh Allah SWT."
(Diriwayatkan oleh At-Tabrani, Ahmad dan Al-Baihaqi)
Tetapi, manusia yang durhaka dan sering berbuat maksiat yang terkeliru dengan pemikirannya merasakan bahawa nikmat yang telah datang kepadanya adalah kerana Allah berserta dan kasih dengan perbuatan maksiat mereka.
Masih ada juga orang ragu-ragu, kerana kalau kita hendak dapat kebahagian didunia dan akhirat kita mesti ikut jejak langkah Rasullulah saw dan berpegang teguh pada agama Islam.
Tetapi bagaimana dengan ada orang yang sembahyang 5 waktu sehari semalam, bangun tengah malam bertahajjud, puasa bukan di bulan Ramadhan sahaja, bahkan Isnin, Khamis dan puasa sunat yang lain. Tapi, hidup mereka biasa sahaja. Ada yang susah juga. Kenapa? Dan bagaimana pula orang yang seumur hidup tak sembahyang, puasa pun tak pernah, rumahnya tersergam indah, kereta mewah menjalar, duit banyak, dia boleh hidup kaya dan mewah.
Bila kita tanya, apa kamu takut mati? Katanya, alah, orang lain pun mati juga, kalau masuk neraka, ramai-ramai.
Tak kisahlah! Sombongnya mereka, takburnya mereka.
Rasullulah s. a. w. naik ke langit bertemu Allah pun tak sombong, Nabi Sulaiman, sebesar-besar pangkatnya sehinggakan semua makhluk di muka bumi tunduk di bawah perintahnya pun tak sombong! Secantik-cantik Nabi Yusof dan semerdu suara Nabi Daud, mereka tak sombong. Bila sampai masa dan ketikanya, mereka tunduk dan sujud menyembah Allah.
Manusia istidraj - Manusia yang lupa daratan. Walaupun berbuat maksiat, dia merasa Allah menyayanginya. Mereka memandang hina kepada orang yang beramal. "Dia tu siang malam ke masjid, basikal pun tak mampu beli, sedangkan aku ke kelab malam pun dengan kereta mewah. Tak payah beribadatpun, rezeki datang mencurah-curah. Kalau dia tu sikit ibadat tentu boleh kaya macam aku, katanya sombong." Sebenarnya, kadang-kadang Allah memberikan nikmat yang banyak dengan tujuan untuk menghancurkannya.
Rasullulah s. a. w bersabda: "Apabila Allah menghendaki untuk membinasakan semut, Allah terbangkan semua itu dengan dua sayapnya" (Kitab Nasaibul æIbad) Anai-anai, jika tidak bersayap, maka dia akan duduk diam di bawah batu atau merayap di celah-celah daun, tetapi jika Allah hendak membinasakannya, Allah berikan dia sayap. Lalu, bila sudah bersayap,
anai-anai pun menjadi kelkatu. Kelkatu, bila mendapat nikmat(sayap) , dia akan cuba melawan api. Begitu juga manusia, bila mendapat nikmat, cuba hendak melawan Allah swt.
Buktinya, Firaun. Nikmatnya tak terkira, tidak pernah sakit, bersin pun tidak pernah kerana Allah berikannya nikmat kesihatan. Orang lain selalu sakit, tapi Firaun tidak, orang lain mati, namun dia masih belum mati-mati juga, sampai rasa angkuh dan besar diri lantas mengaku dirinya tuhan. Tapi dengan nikmat itulah Allah binasakan dia.
Namrud, yang cuba membakar Nabi Ibrahim. Betapa besar pangkat Namrud? Dia begitu sombong dengan Allah, akhirnya menemui ajalnya hanya disebabkan seekor nyamuk masuk ke dalam lubang hidungnya.
Tidak ada manusia hari ini sekaya Qarun. Anak kunci gudang hartanya sahaja kena dibawa oleh 40 ekor unta. Akhirnya dia ditenggelamkan bersama-sama hartanya sekali akibat terlalu takbur. Jadi kalau kita kaya, jangan sangka Allah sayang, Qarun lagi kaya, akhirnya binasa juga.
Jadi, jika kita kaji dan fikir betul-betul, maka terjawablah segala keraguan yang mengganggu fikiran kita. Mengapa orang kafir kaya, dan orang yang berbuat maksiat hidup senang /mewah.
Pemberian yang diberikan oleh Allah pada mereka bukanlah yang diredhaiNya. Rupa-rupanya ianya adalah bertujuan untuk menghancurkannya. Untuk apa hidup ini tanpa keredhaanNya? Tetapi jangan pula ada orang kaya beribadat, masuk masjid dengan kereta mewah kita katakan itu istidraj.
Orang naik pangkat, istidraj. Orang-orang besar, istidraj. Jangan! Orang yang mengunakan nikmatnya untuk kebajikan untuk mengabdi kepada Allah bukan istidraj. Dan jangan pula kita tidak mahu kekayaan. Kalau hendak selamat, hidup kita mesti ada pegangan.
Bukan kaya yang kita cari, juga bukan miskin yang kita cari. Tujuan hidup kita adalah mencari keredaan Allah. Bagaimana cara untuk menentukan nikmat yang diredhai Allah? Seseorang itu dapat menyedari hakikat yang sebenarnya tentang nikmat yang diterimanya itu ialah apabila dia bersyukur nikmatnya.
Dia akan mengunakan pemberian ke jalan kebaikan dan sentiasa redha dan ikhlas mengabdikan diri kepada Allah. Maka segala limpah kurnia yang diperolehi itu adalah nikmat pemberian yang diredhai Allah. Bila tujuan hidup kita untuk mencari keredhaan Allah, niscaya selamatlah kita di dunia dan akhirat.
Wallahualam.
"Dari Abdullah bin 'Amr R. A, Rasulullah S. A. W bersabda:
" Sampaikanlah pesanku biarpun satu ayat.."
Wednesday, October 24, 2007
ILMU, DARJAT dan PANGKAT
Sebab bertambah dan berkurangannya ilmu dan firman Allah, "Katakanlah:'Wahai Tuhan, tambahkanlah ilmuku!" dan sabda Rasulullah s.a.w, "Allah tidak menghilangkan ilmu dengan mencabutnya dari dada ulama, tetapi Dia menghilangkannya dengan mematikan ulama." Tajalli wujud Yang Haq dalam sfera diri kenyataan bagi berkurangannya ilmu. Jika seseorang tidak menyedari hal tersebut dengan dirinya mampukah dia menyaksikan Tuhannya melalui penyelidikan dan pertanyaan? Seandainya kepelbagaian ilmu lahir dalam diri, penutupan yang disedari ditetapkan oleh kata-kata tersebut. Tiada apa kecuali cakra matahari kewujudan muncul dan cahayanya jatuh ke atas alam arwah. Yang Asal hanya disaksikan bila ada kenyataan sekalipun manusia dimusnahkan oleh kekuatan tamak. Tidak syak lagi pada kenyataan yang aku bukakan dan ianya bukan gambaran kebohongan yang salah atau dugaan. [Ilmu: darjat dan peringkatnya] Ketahuilah bahawa setiap benda yang hidup dan setiap orang dinyatakan oleh pengertian, berada dalam pengetahuan baharu pada setiap nafas menurut pengertian tersebut. Walau bagaimanapun, boleh jadi individu yang menyaksikan itu bukanlah seorang daripada yang berpengetahuan penuh mengenainya. Sebenarnya, ilmu, maka ilmu boleh dinyatakan sebagai berkurangan berhubung dengan orang yang berilmu. Ia terhasil daripada fakta bahawa seharusnya ada pengertian sekiranya penghalang mengganggu di antaranya dan benda-benda yang dia lihat, seperti keadaan orang yang buta atau pekak atau seumpamanya. Oleh yang demikian ilmu naik dan turun mengikut apa yang diketahui. Kerana itulah apabila himma berhubungan dengan ilmu yang mulia yang melaluinya manusia dinyatakan, dirinya (nafs) dipersucikan dan darjatnya dipertingkatkan. Tahap ilmu yang tertinggi ialah ilmu mengenai Allah. Jalan tertinggi kepada ilmu mengenai Allah ialah ilmu tentang tajalliyat. Di bawahnya ialah ilmu tentang penyelidikan akal (nadhar). Tidak ada ilmu Ilahi di bawah penyelidikan. Ia adalah kepercayaan atau pendapat bagi manusia umum, bukan ilmu. Ilmu-ilmu ini ialah apa yang Allah perintahkan kepada Rasul-Nya supaya menambahkannya. Allah berfirman, [Ilmu: bertambah dan berkurangan] Kami akan nyatakan pertambahan dan pengurangan ilmu dalam tajuk lain, Insya' Allah. Allah mengurniakan segala-galanya - dan diri (nafs) manusia salah satunya - zahir dan batin. Diri manusia secara zahirnya menyaksikan dengan mata, dan batinnya dengan ilmu. Allah adalah Yang Zahir dan Yang Batin. Adalah dengan-Nya pengertian diperolehi. Bukanlah kuasa sesuatu yang selain Allah untuk menyaksikan sesuatu dengan sendirinya. Dia menyaksikan dengan apa yang Allah letakkan padanya dan tajalli Allah. Sesiapa yang memperolehi tajalli daripada mana-mana alam, baik alam ghaib dan tidak kelihatan, adalah daripada Nama, Yang Zahir. Bagi nama, Yang Batin, sebahagian daripada hakikat hubungan ini ialah tidak pernah ada tajalli dalamnya, tidak dalam alam ini ataupun alam kemudian kerana tajalli menunjukkan kenyataan Allah kepada seseorang yang menerima kenyataan itu. Itu kepunyaan nama Yang Zahir. Hubungan yang mudah difaham oleh akal tidak berubah, sekalipun mereka tidak mempunyai sumber yang melaluinya mereka keluar. Walau bagaimanapun, mereka mempunyai kewujudan yang lojik, maka mereka adalah mudah difahami. Apabila Allah kurniakan tajalli, samada sebagai kurniaan semata-mata ataupun sebagai jawapan kepada permohonan, tajali itu dikurniakan kepada diri yang zahir, dan pengertian oleh indera berlaku dalam bentuk itu, dan ia mengambil tempat pada ruang antara (barzakh) dan membentuk gambaran. Maka orang yang menerima kenyataan itu akan mendapat pertambahan pengetahuan jika dia seorang ulama dalam Syariat, bertambah pengetahuan dalam kriteria maksud jika dia seorang ahli dialek, dan bertambah pengetahuan dalam ukuran ucapan jika dia seorang ahli bahasa. Ianya menjadikannya pakar dalam setiap pengetahuan mengenai makhluk dan bukan makhluk. Ilmunya bertambah dalam bidang yang dia ceburi. Mereka yang di atas jalan ini mengetahui bahawa pertambahan ini datangnya daripada tajalli Ilahi kepada kumpulan-kumpulan tersebut, agar mereka tidak dapat menafikan apa yang telah dibukakan kepada mereka. Penangkapan deria orang yang bukan ahli makrifat bertambah dan ia disandarkan kepada pemikiran. Pengalaman bagi yang selain dua ini bertambah tetapi tidak mengetahui yang mereka menjadi bertambah dalam perkara apa. Dalam gambaran Apabila tajalli berlaku, ianya melalui nama Yang Zahir kepada bahagian batin seseorang. Pengertian berlaku tentang dalaman mengenai alam hakikat dan maksud melepaskan perkara fizikal. Ini ditunjukkan sebagai "catatan-catatan" lantaran catatan-catatan Ilahi tidak mempunyai kekeliruan atau kemungkinan dalam aspek tertentu. Ia hanya berlaku dalam maksud. Maka orang yang ada maksud bebas daripada pemikiran yang berat, dan dalam tajalli dia menjadi bertambah dalam pegetahuan ketuhanan, ilmu tentang rahsia-rahsia dan ilmu tentang batin, dan apa yang berhubungan dengan Alam Kemudian. Ini dititikberatkan oleh mereka yang di atas jalan kami - ia adalah jalan ilmu. [Ilmu: pengurangannya] Ilmu boleh berkurangan kerana dua sebab, samada melalui sifat buruk dalam asas organismanya atau ketidak-sempurnaan sampingan dalam bakat yang berhubung dengan itu. Sifat buruk dalam asas organisma tidak boleh diubah, sebagaimana kata al-Khidr tentang seorang kanak-kanak, Saya tidak maksudkan apabila ilmu itu berkurangan ia adalah semata-mata kesalahan manusia - kecuali ilmu ketuhanan. Kebenarannya menunjukkan bahawa tidak ada pengurangan sama sekali dan manusia itu sentiasa dan terus menerus bertambah ilmunya dan dalam hubungan apa yang inderanya berikan kepadanya, turun naik suasana dan aliran pemikiran dalam dirinya. Ilmunya bertambah, tetapi tidak ada manfaat dalamnya. Pendapat, keraguan, spekulasi, kejahilan, kelalaian dan kelupaan: semua ini dan perkara-perkara seumpamanya tidak disertai oleh ilmu yang apa yang kamu di dalamnya dalam hubungan pendapat, keraguan, spekulasi, kelalaian atau kelupaan. [Ilmu tajalli: pertambahan dan pengurangannya] Bagi pertambahan dan pengurangan ilmu tajalli, manusia itu samada berada dalam salah satu suasana: bagaimana anbia bawakan mereka muncul keluar secara pancaran, atau aulia melalui prinsip menjadi pewaris anbia. Inilah seperti yang dikatakan kepada Abu Yazid al-Bistami apabila jubah perwakilan dipakaikan kepadanya, "Pergilah kepada makhluk-Ku dengan sifat-sifat-Ku. Sesiapa yang melihat kamu melihat Aku!" Tidaka ada apa yang boleh dia lakukan kecuali mentaati perintah Tuhannya. Dia maju selangkah ke arah dirinya dan dia pengsan. Kedengaran jeritan, "Kembalikan Kekasih-Ku kepada-Ku! Dia tidak dapat menahan perpisahan dengan-Ku!" Dia telah larut ke dalam al-Haq, seperti Abu 'Iqal al-Maghribi, maka roh-roh diamanahkan dengannya dan sesiapa yang membantunya apabila dia diperintahkan keluar kembalikan dia kepada setesen penyerapan (istihlak) dalam-Nya. Dia dikembalikan kepada Allah dan pakaian rendah hati, kemiskinan, dan kehinaan dipakaikan kepadanya. Hidup ini menggembirakan dan dia menyaksikan Tuhannya dan bertambah dalam keakraban dan memperolehi kerehatan daripada [Kenaikan (Mikraj) manusia atas Tangga Makrifat] Sejak saat saat permulaan seseorang itu memulakan tangga kenaikan, dia mempunyai tajalli ketuhanan menurut tangga yang dia daki. Setiap orang dari kalangan ahli Allah mempunyai tangga khusus untuknya yang tidak ada orang lain mendakinya. Jika seseorang boleh mendaki tangga orang lain, maka kenabian boleh diperolehi. Dengan zatnya, setiap tangga memberikan darjat khusus untuk orang yang mendakinya. Sekiranya keadaan sebaliknya, ulama boleh memanjat tangga anbia dan memperolehi kenabian dengan berbuat demikian. Keadaannya tidak demikian. 'Keupayaan ketuhanan' akan hilang sekiranya perkara itu berulang. Dalam pandangan kami, ianya sah bahawa tidak ada pengulangan dalam kehadiran itu. Walau bagaimanapun, semua langkah bagi maksud - anbia, aulia, yang beriman, dan utusan - semuanya sama. Satu tangga tidak mempunyai anak tangga yang lebih daripada tangga lain. Langkah pertama ialah Islam. Ia adalah penyerahan. Langkah terakhir ialah penghapusan (fana) dalam kenaikan itu dan berjalan terus dalam perjalanan keluar itu. Apa yang tinggal ialah di antara dua mereka. Ia adalah iman, ihsan, ilmu, kesatuan sejati (taqdis), 'tiada-hubungan' (tanzih), kekayaan, kemiskinan, kehinaan, kekuasaan, perubahan (talwin), penetapan dalam perubahan itu, penghapusan (fana) jika kamu keluar dan berjalan terus jika kamu masuk. Setiap langkah yang dalamnya kamu tinggalkkannya mengurangkan pengetahuan tajalli dalam keseimbangan batin kamu dengan apa yang bertambah pada zahir kamu sehingga kamu mencapai langkah terakhir. Jika kamu keluar dan mencapai langkah terakhir, maka Dia menyata dengan Zat-Nya dalam zahir kamu menurut nilai kamu dan kamu menyatakan-Nya dalam makhluk-Nya. Dalam batin kamu tidak ada apa lagi yang tinggal dan tajalliyat kebatinan meninggalkan kamu secara keseluruhannya. Apabila kamu dipanggil untuk masuk, panggilan ini adalah langkah pertama yang akan dinyatakan kepada kamu melalui tajalli dalam batin kamu menurut apa yang berkurangan bagi tajalli itu dalam zahir kamu, sehingga kamu mencapai langkah terakhir. Kemudian Dia dinyatakan kepada batin kamu dengan Zat-Nya dan tidak ada tajalli sama sekali tinggal dalam zahir kamu. Sebab bagi yang demikian ialah hamba dan Tuhan terus bersama, setiap satu dengan kewujudan yang sempurna bagi dirinya: hamba tetap hamba dan Tuhan tetap Tuhan, sekalipun berlaku pertambahan dan pengurangan ini. Inilah sebab bagi pertambahan dan pengurangan ilmu tajalliyat dalam zahir dan batin. Sebab bagi itu ialah peraturan. Inilah sebabnya semua yang Allah ciptakan dan bawakan kepada kewujudan dalam keasliannya adalah komposit (dalam keadaan banyak bahagian tetapi merupakan kesatuan) - ia ada zahir dan batin. Apa yang kami rujukkan sebagai anasir yang mudah (basa'it) adalah perkara yang mudah difahami yang tidak ada kewujudan dalam sumbernya. Setiap benda yang wujud, selain Allah, adalah komposit. Kami ketahui ini melalui kasyaf yang benar yang tidak ada keraguan dalamnya. Ia mewajibkan pergantungan yang sesuai kepada-Nya, kerana ia adalah gambaran yang perlu bagi-Nya. Jika kamu faham, kami sudah jelaskan jalannya untuk kamu mulakan pendakian bagi diri kamu. Maka mengembaralah! Dan naiklah! Kamu akan lihat dan saksikan apa yang sudah kami jelaskan kepada kamu. Kami telah perincikan langkah-langkah pendakian bagi kamu yang kami simpan bagi kamu dalam nasihat yang berguna apabila Rasulullah s.a.w perintahkan kita melakukannya (dalam hadis). Sekiranya kami ceritakan buah dan hasilnya kepada kamu tanpa perincian jalannya kepada kamu, kami akan membuatkan kamu teringinkan sesuatu yang besar yang kamu tidak ketahui jalan memperolehinya. Dengan yang Esa yang diriku dalam tangan-Nya, ia adalah Mikraj. Petikan Kitab Futuhat Makiyyah |
PENGERTIAN TAWASUL
Ramai di kalangan orang yang tidak berhati-hati dan tiada mengaji tentang ilmu Tasawuf terus menolak amalan Tawasul dan amalan rabitah. Sebenarnya kita mungkin rasa asing dalam kedua-dua amalan ini kerana kita tak memahaminya atau kerana kita tak mengaji Ilmu Tasawuf apatah lagi mengamalkannya.
Ini biasa terjadi kerana kalau orang yang mengaji fardhu ain dia mesti mengaji sekurang-kurangnya 3 ilmu iaitu Ilmu Tauhid , Ilmu Feqah dan Ilmu Tasawuf tetapi bagi kebanyakkan orang sekarang mereka belajar ilmu fardhu ain hanya belajar Tauhid dan Ilmu Feqah saja tetapi mengabaikan ilmu Tasawuf kerana dianggap ilmu tasawuf bukan ilmu fardh ain .
Inilah kefahaman yang silap kerana Imam Malik r.a. berkata: “Barangsiapa berfeqah saja tanpa bertasawuf maka ia fasiq dan barangsiapa yang bertasawuf tanpa berfeqah maka ia kafir zindik(penyeleweng), dan barangsiapa yang menghimpunkan antara keduanya maka jadilah ia muslim yang haqiqi”.
Kalau dalam konteks menentukan apa itu ilmu fardhu ‘ain pun tidak selari dengan ulama terdahulu macammana kita nak menentukan sesuatu itu benar atau pun salah?
Penjelasan Tawasul secara ringkas.
Tawasul atau wasilah menurut dalam pengertian bahasa ialah: “Sesuatu yang dekat kepada yang lain”.
Manakala makna dari istilah hukum Islam bermaksud: “Pendekatan kepada Allah Ta’ala dengan mentaati dan beribadah kepadanya, mengikut Nabi-nabi dan Rasul-RasulNya dengan semua amal yang di kasihi dan di redhai-Nya”
Ibnu Abbas menegaskan: Wasilah itu ialah pendekatan(qurbah). Qatadah mentafsirkan qurbah itu ialah: "Dekatkan dirimu kepada Allah Taala dengan mentaati Nya dan mengerjakan amal
yang di redhai Nya maka setiap perintah syarak samada yang wajib mahupun sunnat adalah tawasul atau wasilah mengikut syariat." Dalil naqalnya ialah :
"Hai orang-orang yang beriman ,bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada Nya dan berjihadlah pada jalan Nya supaya kamu mendapat
keberuntungan" (Al Maidah : 35)
Perkataan wasilah dalam ayat di atas kebanyakkan mufasirin hampir senada iaitu menuntut atau mencari pendekatan kepada Allah Taala dengan mentaati dan mengamalkan sesuatu yang di kasihi Allah Taala. Mengamalkan sesuatu amal-jalan (wasilah) yang menuju kepada kehampiran denganNya adalah bentuknya terlalu umum tetapi berdasarkan muafakat dengan Haq Taala.
Diantara penjelasan ahli Tafsir yang senada tadi(sama maksud) ialah:
a. Tafsir Al Khazin j.2 ms 47.
b. Tafsir Ibnu Katsir j2 ms 52-53.
c. Tafsir Fi Zhilalil Quraan j6 ms 146
d. Tafsir Al Futuhatul Ilahiyah ms 488
Manakala Tafsir :
a. Sirojul Munir (Imam Syarbaini Al Khatib)
b. Al Kasysyaf (Imam Zamakhsyari)
c. Anwarut Tanzir (Qadhi Al Baidhawi)
d. Al Kabir (Imam Fakhrur Razi)
Semuanya pada umumnya menyatakan wasilah atau tawasul membawa maksud:
carilah jalan supaya kamu dapat taqarrub(mendekatkan diri) kepada Allah Ta'ala.
Untuk kita lebih faham tentang perkara ini kita kena tahu pengertian dua perkara dan kedua-dua perkara ini mempunyai dua makna ; kedua-dua perkara ini tidak terpisah sama sekali jika terpisah maka bathil jadinya iaitu:
1. Wasilah- cara atau jalan atau alat.
2. Ghayyah- matlamat atau tujuan.
Makna pertama iaitu Allah Ta'ala memerintahkan kita berwasilah yakni mencari jalan yang diredhaiNya samada amalan wajib atau sunnat samada dengan berdoa, bersholat, bertawasul dengan asma Allah al husna , dengan berkat RasulNya atau dengan amalan sholeh atau dengan keberkatan para auliya samada cara berziarah kubur mereka, membaca maulid , atau mengadakan haul bagi mengingat sejarah perjuangan mereka di atas jalan Allah Ta'ala atau dengan mengasihi mereka yakni dengan menambat hati dengan mereka(rabithah) supaya limpah rahmatNya ke atas kita .
Kesemua amalan-amalan ini dengan syarat berlandaskan syariat Allah DAN bermatlamat (ghayyah) mendekatkan diri kepada Allah iyakni dengan lain perkataan bermaksudkan Allah dan keredhaanNya jua yang di tuntut bukan lainnya.
Makna Kedua iaitu semua wasilah hanyalah wasilah jua (sabit dengan nas syarak) namun yang memberi bekas hanya Allah Ta'ala. Misalnya kita berdoa atau bertawasul dengan dengan orang-orang shalih di dalam doanya atas jalan Allah Ta'ala bahawasanya kesemua doanya itu mestilah di tujukan kepada Allah Ta'ala dan bukan kepada wasilah itu sendiri secara haqiqatnya dengan I'tiqad yang putus bahawa Allah jua lah yang menentukan dan memaqbulkan segala doa.
Persoalan yang selalu dibangkitkan ialah bolehkah kita mendekatkan diri dengan Allah Ta'ala (bertaqarrub) dengan wasilah atau bertawasul dengan orang yang telah mati atau meninggal dunia?.
Persoalan inilah yang menjadi perselisihan di antara orang yang keliru atau tak memahami hakikat wasilah. Sebenarnya dalil yang mengatakan boleh kita berwasilahkan dengan orang yang telah meninggal dunia boleh di lihat dalam beberapa sudut asalkan caranya dibenarkan oleh syara’ dan I'tiqad kita benar yakni beri'tiqad yang memberi bekas hanya Allah Ta'ala.
Sudut Pertama: Apakah orang yang mati itu bererti dianya sudah lenyap atau ghaib samasekali?
Ada pendapat yang mengatakan minta tolong dengan orang yang sudah mati adalah sia-sia kerana orang yang sudah mati itu sudah lenyap(tiada) dan tiada boleh buat apa-apa ?
Benarkah pendapat ini?
Sebenarnya orang yang sudah mati itu bukan bermakna mereka telah lenyap atau hancur sama sekali tetapi mereka itu hidup semacam kita cuma mereka telah berpindah alam yakni dari alam dunia yang fana ke alam barzakh atau alam arwah(ruh).
Dalil firmanNya:
“Dan jangan kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah(bahawa mereka itu ) mati bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup tetapi kamu tidak enyedarinya(melihatnya)”. (Al Baqarah :157)
Sudut Kedua : Apakah terputus hubungan secara total diantara orang yang hidup
dengan orang yang telah mati ?
Ada pendapat mengatakan bahawa orang yang hidup terputus hubungannya dengan
orang yang mati jadi bagaimana mereka(arwah) boleh menolong orang yang hidup
bersandarkan hadis nabi s.a.w.:
"Apabila anak adam telah mati maka putuslah segala amalnya kecuali tiga perkara
iaitu : sedekah jariah , ilmu yang bermanafaat baginya dan anak yang shaleh
yang mendoakan orang tuanya." (Riwayat : Bukhari)
Sebenarnya hadis ini menerangkan kepada kita bahawa orang yang meninggal dunia
segala amal taklifiahnya telah terputus (maknanya sudah tiada lagi sesuatu
amalan yang di pertanggungjawab oleh syarak ke atasnya dan tertutup segala
manafaat sebab tiada lagi amalan yang boleh dilakukan ) kecuali tiga macam amal
tadi tetapi hadis ini bukan menekankan bahawa tiada hubungkait langsung dengan
orang yang hidup, bukan begitu! Kerana kita masih ada kait dengan para arwah
dan ini boleh dilihat dalam dua hubungan iaitu:
a. Hubungan yang hidup dengan si mati. Sebenarnya bukti orang hidup boleh
memberi manafaat dengan para arwah ialah misalnya kita membayar hutang si mati
maka beban mereka di sana akan terangkat insyaallah atau menghadiah kan bacaan
Qulhuallah 11 kali atau membaca yassin lalu di niatkan hadiah kepada si mati
maka insyaallah dapat manafaat pada simati tersebut.
b. Hubungan yang mati dengan si hidup. Bagi para arwah khusus ibu bapa kita dan
orang-orang yang sholeh bahawa mereka akan menolong kita dengan mendoakan untuk
kita dan kesejahteraan kita.
Misalnya dalam surah At Taubah ayat 106 bermaksud:
"Dan katakanlah (hai Muhammad):Hendaklah kalian berbuat. Allah dan RasulNya
serta kaum mukminin akan melihat perbuatan kalian."
Ibnu Katsir menerangkan bahawa setiap amal perbuatan orang-orang yang masih
hidup diperlihatkan kepada sanak-keluarga dan kaum kerabat yang telah meninggal
dunia. Ia mengenengahkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud At
Thayalisi , berasal dari Jabir r.a. bahawasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Amal perbuatan kalian akan diperlihatkan kepada sanak-keluarga dan kaum
kerabat. Jika amal kalian itu baik mereka menyambutnya dengan gembira. Jika
sebaliknya, mereka berdoa: Ya Allah , berilah mereka ilham agar berbuat baik
dan taat kepadaMu."
Sudut Ketiga : Apakah orang yang telah mati itu(ruh) boleh menolong?
Jawab kita boleh dan harus. Kerana ini pernah terjadi di zaman semasa dan
selepas wafat nabi s.a.w. dan banyak contoh-contohnya misalnya:
Di antara bukti yang jelas bagaimana orang-orang mati khususnya para nabi dan
para auliya yang telah mati di mana ruh mereka dapat menolong orang yang hidup
ialah sepertimana di waktu Rasulullah s.a.w mikraj ke langit, di mana baginda
Rasulullah s.a.w. telah berjumpa dengan ruh Nabi Adam a.s. dan ruh Nabi Ibrahim
a.s. pada langit pertama dan kedua seterusnya nabi Adam dan nabi Ibrahim
mendoakan kepada Allah Taala supaya diberkati dan di bahagiakan Nabi Muhammad
s.a.w. dan ummatnya.
Keterangan ini bersandarkan pada hadis Ibnu Abbas yang di rawikan oleh Bukhari.
Sedangkan mereka telah pun wafat.
Kemudian terdapat beberapa peristiwa memohon pertolongan dengan nabi s.a.w.
setelah beliau wafat iaitu:
Peristiwa pertama :
Berkata Muhammad bin Al Munkadir:
Seorang lelaki yang akan pergi berjihad , menaruh wang sebanyak 80 dinar di
samping ayahku , sebagai amanat, dan ia berkata kepadanya(ayahku): "jika engkau
memerlukan wang ini maka gunakanlah. Kebetulan terjadi kenaikan harga di
mana-mana maka ayahku menggunakan wang tersebut.
Akhirnya ketika pemilik wang itu datang untuk mendapatkan wang simpanannya
semula maka ayahku meminta dia datang pada keesokan harinya. Malam itu ayahku
pergi ke masjid, duduk dan berdoa kepada makam dan mimbar Rasul.
Ia terus dalam keadaan istighasah(memohon pertolongan) sampai hampir subuh.
Ketika itu , dalam kegelapan masjid, muncul seseorang dan berkata: "Ambil lah
ini, wahai Abu Muhammad, seraya memberikan kepadanya sebuah kantung yang berisi
80 dinar.
Peristiwa kedua:
Abu Bakar Ibn al Muqirri berkata:
Saya dan Thabrani serta Abu Syeikh merasa sangat lapar. Ketika kami berada
disamping makam Nabi s.a.w. Pada malam itu , di sisi makam rasul s.a.w. aku
berkata: "wahai Rasulullah , kami lapar, tidak lama kemudian , terdengar
ketukan di pintu masjid dan masuklah seorang lelaki dari golongan Alawi bersama
dua orang pemuda. Setiap orang dari mereka membawa kerajang yang penuh dengan
makanan setelah kami selesai makan , orang Alawi itu berkata : "Aku melihat
Rasulullah s.a.w. dalam mimpiku dan beliau memerintahkan aku membawakan makanan
untuk kamu semua."
Peristiwa Ketiga:
Ibn Jallad berkata:
Aku memasuki kota Madinah dalam keadaan sangat miskin dan kekurangan. Lalu aku
datang ke maqam Rasulullah s.a.w. dan berkata: "wahai Rasulullah , aku ini
tetamu mu, kemudian aku tidur. Dalam tidur itu aku mimpi melihat Rasulullah
memberikan sepotong roti kepadaku."
Peristiwa Keempat:
Berkata As Sayyid Ja’far bin Hassan Al Barzanji Al Madani dalam kitabnya
“Jaliah Al Karbi Biashabi Sayedil ‘Ajam Wal ‘Arabi yang disebut juga oleh Al
Hamawi dalam kitabnya Nataiju Al Irtihal Was Safari Fil Akhbar Al Qarni Al Hadi
Al Asyar dalam perkara terjemah Al Jami’ Bainas Syariah Wal Haqiqah As Syeikh
Ahmad bin Muhammad Ad Dimayati yang mahsyur dengan panggilan Ibnu Abdul Dhani
Al Banna yang mati di Madinah Munawwarah dalam bulan Muharram tahun 1116 hijrah
katanya:
“Dalam suatu musim haji , saya bersama-sama ibu saya telah menunaikan fardhu
haji. Tahun itu adalah tahun kemarau. Bersama saya ialah dua ekor unta yang
telah saya beli di Mesir. Dengan menaiki dua ekor binatang inilah kami
menyempurnakan haji kami.
Setelah selesai menyempurnakan haji , kami ziarah pula Madinah tetapi kedua-dua
ekor unta kami telah mati di sana, sedang kami tiada punya wang untuk membeli
ganti atau pun menyewanya kepada orang lain(supaya kami dapat pulang semula ke
Mesir). Benar-benar hal ini sudah tidak ada harapan lagi.
Lalu saya pun pergi kepada guru kami Safyuddin Al Qasyasyi. Saya beritahu
kepada beliau keadaan yang berlaku dan menambah :"Sesungguhnya saya berazam
hendak duduk di Madinah ini hanyalah buat sementara waktu saja , kerana masih
penat dalam perjalanan, sehinggalah Allah memudahkan saya (untuk pulang).
Safyuddin Al Qasyassyi mendiamkan diri , kmudian berkata kepada saya : "Awak
pergilah ,masa ini juga , ke kuburan Saidina Hamzah bin Abdul Muttalib , bapa
saudara Saidina Muhammad s.a.w. Baca sedikit ayat Al Quraan dan terangkan
keadaan diri awak dari awal hingga akhir sebagaimana telah awak ceritakan
kepada saya ,dan awak berdiri di atas kubur yang mulia itu!”
Maka saya pun buat apa yang disuruh. Dengan bergegas saya pun pergi dan pada
masa itu ialah pagi-pagi lagi. Saya baca sedikit ayat Al Qura’an dan saya
terangkan keadaan diri saya seperti yang di suruh oleh guru kami. Dan(lepas
itu) saya balik semula sebelum zohor. Saya masuk ke tempat suci ‘Babul Rahmah’
saya berwudhu’ dan masuk ke dalam masjid. Rupa-rupanya ibu saya sudah sedia ada
dalam masjid.
Beliau berkata kepada saya: “Di sana ada seorang lelaki bertanyakan tentang
kau, pergilah kepadanya”.
Saya bertanya kepada ibu saya: “Dimana dia ? Ibu saya menjawab “Engkau tengok
di sudut paling hujung masjid ini”. Maka saya pun pergi , saya nampak seorang
lelaki berjanggut putih. Tiba-tiba katanya pada saya: “Selamat datang wahai
syeikh Ahmad”. Saya cium tangannya dan kali ini ia bertanya: “Hendak balik
Mesir kah ?”
Saya menjawab : “wahai tuan ! Dengan siapa kah boleh saya balik ?”
Lalu katanya : “Mari ikut saya , saya akan tumpangkan awak kepada seseorang”.
Maka saya pun mengikutnya, sehinggalah kami sampai ke tempat yang bernama ‘Al
Munakhah’ iaitu tempat jamaah haji Mesir tinggal di Madinah.
Setelah memberi salam kepada pemilik khemah , lalu pemilik itu bangun sambil
mencium tangannya dengan cara yang sangat hurmat, katanya kepada orang itu:
“Tujuan saya supaya dapat tuan membawa Syeikh Ahmad dan ibunya menumpang
bersama -sama tuan ke Mesir…” Kemudian ia menyambung lagi : “Berapa tuan kira
ke atasnya ?”(upah atau tambang kerana membawa Syeikh Ahmad dan ibunya).
Menjawab pemilik khemah : “Terpulanglah kepada tuan”.
Katanya : “Baiklah ,begini dan begini ….”
Demikianlah apabila persetujuan di capai , lalu berkatalah ia kepada saya :
“Bangun! Pergilah bawa ibu dan barang-barang awak!”.
Saya pun bangun serta melakukan apa -apa yang disuruhnya, sedang ia masih duduk
bersama pemilik khemah. Sebelum itu , oleh pemilik khemah, saya telah di
syaratkan membayar baki sewa setelah sampai di Mesir kelak. Semua itu di
persetujui dan berikutnya , ia membaca surah Al Fatihah serta menasihatkan saya
tentang kebajikan. Ia bangun dan saya mengikutnya. Setelah sampai di mesjid, ia
berkata kepada saya : “Masuk awak dulu saya kemudian”. Saya pun masuk dan
menunggunya. Hingga selesai sembahyang ,saya belum melihatnya. Puas
berulang-ulang saya mencarinya tetapi tidak berjumpa.
Lalu saya balik semula kepada pemilik khemah bertanyakan tentang orang yang
membawa saya tadi : “Siapa dia yang sebenarnya dan dimana tempat tinggalnya ?”.
Pemilik khemah memberitahu saya bahawa ia sendiri tidak mengetahui dan bahkan
tidak pernah kenal sebelum ini. “akan tetapi” , pemilik khemah itu menyambung
keterangannya kemudian: “ketika ia masuk, satu macam perasaan gerun dan takut
muncul dalam diri saya , yang belum pernah berlaku seumpama itu dalam umur
saya”.
Maka kemudian , saya ulangi lagi mencarinya tetapi tetap tidak berhasil. Lalu
pergilah saya kepada guru saya tadi, As Syeikh Safyuddin Ahmad Al Qasyasya.
Saya terangkan kepada beliau segala kejadian ini. Katanya mengulas : “Ini ialah
ruh Saidina Hamzah r.a. yang menjelma kepada mu”.
Sudut Keempat : Adakah minta tolong pada ruh simati yang sholeh itu boleh
menyebabkan seseorang itu menjadi musyrik(melakukan syirik terhadap Allah
Taala) ?
Jawabnya :TIDAK. Kerana pada kita dalam mazhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah
berpendapat bahawa segala permintaan kita (doa) kita adalah ditujukan secara
haqiqatnya kepada Allah Taala dan yang dapat memunafaatkan sesuatu atau
memudharatkan sesuatu hanya Allah tidak pada yang lainnya samada makhluk hidup
mahu pun makhluk mati(atau ruh), tidak ada bezanya yang beza cuma secara
fizikal saja pada haqiqatnya tetap sama .
Misalnya:
Kita minta tolong dengan orang yang hidup supaya memenuhi hajat kita tentu
tidak syirik kerana walaupun pada lahirnya nampak seseorang yang menolong kita
tetapi pada haqiqatnya Allah lah yang memenuhi hajat kita. Cuma orang itu
sebagai wasitah (perantara saja) bagi memenuhi hajat kita itu.
Begitu jugalah kalau kita bertawasul atau minta tolong pada ruh orang sholeh
supaya di doakan kita atau memohon berkat darinya kita tetap beritiqad bahawa
ruh si mati itu tiada dapat memberi bekas terhadap hajat atau doa kita dan yang
memberi bekas hanya Allah Taala. Cuma ruh-ruh orang sholeh ini menjadi
wasitah(perantara) sebab doa atau hajat kita di maqbul oleh Allah Taala.
Dalam hal ini Mufti Sayyid Zaini Dahlan Mufti Mekah bermazhab Syafie (pada masa
dulu) berkata:
....dalam soal tawasul ini antara nabi dan nabi-nabi lain , rasul-rasul ,
wali-wali dan orang sholeh , tidak ada perbezaan hidup atau mati kerana mereka
tidak mencipta sesuatu juga , mereka tidakberkuasa sama sekali , hanya BERKAT
mereka di ambil kerana mereka kekasih Allah ; mencipta dan mengadakan hanya
milik Allah , Tunggal dan tiada bersekutu.
Orang yang membezakan antara orang yang hidup dengan orang yang mati, maka
orang itu mengitiqadkan bahawa orang hidup bisa mencipta dan orang yang mati
tidak bisa lagi. Kita berkeyakinan dan beritiqad bahawa yang menjadikan
tiap-tiap sesuatu adalah Allah dan Allah itu menjadikan kita dan menjadikan
pekerjaan kita.
Adapun ramai Ulama besar mengamalkan amalan tawasul di antaranya :
1. Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau
2. Syeikh Sayid Bakfi Syata (pengarang kitab Ianatut Talibin)
3. At Tarabulusi (pengarang kitab Tauhid yang terkenal iaitu Husunul
Hamidiyah)
4. Syeikh Abdul Aziz Al Hakim.
5. Syeikh Ibrahim Musa Parabek (pengarang kitab Hidayatus Sibyan)
6. Imam Ramli (pengarang kitab Nihayatul Muhtaj mazhab Syafie)
7. Syekhul Islam Ibrahim Al Baijuri (pengarang kitab Kifayatul Awam)
8. Abdur Rauf Al Manawi (pengarang kitab Faidhul Qadir Al Jamius Saghir)
9. Syeikh Zainal Abidin bin Muhammad Al Fatani (pengarang kitab Aqidatul
Najin)
10. Syeikh Nawawi Bentan
11. Imam Barzanji
12. dll.
Kalau ramai Ulama besar beramal mestilah ianya boleh dan sangat baik dilakukan
dengan jalan yang betul. Tak akan pula Ulama-Ulama yang terkenal dan di akui
ini akan mengajar atau mengamalkan sesuatu yang menyesatkan. Siapa nak pergi
tempah ke neraka… di jauhkan Allah Taala. Tapi kalau masih ada puak yang tak
percayakan Ulama2 seperti di atas itu, saya angkat tangan. Tak guna berhujjah
jika sumber istimbat hukum sudah menyeleweng!!
Tuesday, October 23, 2007
TAWASSUL YANG DISYARI'ATKAN
Allah swt berfirman yang bermaksud,
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri KepadaNya." (Al-Maa'idah: 35)
Qatadah berkata, "Dekatkanlah dirimu kepadaNya, dengan keta'atan dan amal yang membuatNya redha."
Tawassul yang disyariatkan adalah tawassul sebagaimana yang diperintahkan oleh Al-Quran, diteladankan oleh Rasulullah SAW dan dipraktikkan oleh para sahabat.
Di antara tawassul yang disyariatkan iaitu:
1. Tawassul dengan iman:
Seperti yang dikisahkan Allah dalam Al-Quran tentang hambaNya yang bertawassul dengan iman mereka. Allah swt berfirman yang bermaksud,
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (iaitu), 'Berimanlah kamu kepada Tuhanmu', maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti." (Ali Imran: 193)
2. Tawassul dengan mengesakan Allah:
Seperti doa Nabi Yunus Alaihis Salam, ketika ditelan oleh ikan Nun. Allah mengisahkan dalam firmanNya yang bermaksud:
"Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, 'Bahawa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. Maka Kami telah memperkenankan doanya, dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman." (Al-Anbiyaa': 87-88)
3. Tawassul dengan Nama-Nama Allah:
Sebagaimana tersebut dalam firmanNya yang bermaksud,
"Hanya milik Allah Asma'ul Husna, maka mohonlah kepadaNya dengan menyebut Asma'ul Husna itu." (Al-A'raaf: 180)
Di antara doa Rasulullah SAW dengan Nama-namaNya iaitu:
"Aku memohon KepadaMu dengan segala nama yang Engkau miliki." (HR. At-Tirmizi, hadis hasan shahih)
4. Tawassul dengan Sifat-Sifat Allah:
Sebagaimana doa Rasulullah SAW yang bermaksud,
"Wahai Zat Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhlukNya), dengan rahmatMu aku mohon pertolongan." (HR. At-Tirmizi, hadis hasan)
5. Tawassul dengan amal shalih:
Seperti shalat, berbakti kepada kedua orang tua, menjaga hak dan amanah, bersedekah, zikir, membaca Al-Quran, shalawat atas Nabi, kecintaan kita kepada beliau dan kepada para sahabatnya, serta amal shalih lainnya.
Dalam kitab Shahih Muslim terdapat riwayat yang mengisahkan tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Lalu masing-masing bertawassul dengan amal shalihnya. Orang pertama bertawassul dengan amal shalihnya, berupa memelihara hak buruh. Orang kedua dengan baktinya kepada kedua orang tua. Orang yang ketiga bertawassul dengan takutnya kepada Allah, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak ia lakukan. Akhirnya Allah membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghalanginya, sampai mereka semua selamat.
6. Tawassul dengan meninggalkan maksiat:
Misalnya dengan meninggalkan minum khamr (minum-minuman keras), berzina dan sebagainya dari berbagai hal yang diharamkan. Salah seorang dari mereka yang terperangkap dalam gua, juga bertawassul dengan meninggalkan zina, sehingga Allah menghilangkan kesulitan yang dihadapinya.
Adapun umat Islam sekarang, mereka meninggalkan amal shalih dan bertawassul dengannya, lalu menyandarkan diri bertawassul dengan amal shalih orang lain yang telah mati. Mereka melanggar petunjuk Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
7. Tawassul dengan memohon doa kepada para nabi dan orang-orang shalih yang masih hidup.
Tersebutlah dalam riwayat, bahawa seorang buta datang kepada Nabi. Orang itu berkata, "Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah, agar Dia menyembuhkanku (sehingga boleh melihat kembali)." Rasulullah SAW menjawab, "Jika engkau menghendaki, aku akan berdoa untukmu, dan jika engkau menghendaki, bersabar adalah lebih baik bagimu." Ia (tetap) berkata, "Doakanlah." Lalu Rasulullah SAW menyuruhnya berwuduk secara sempurna, lalu shalat dua rakaat, selanjutnya beliau menyuruhnya berdoa dengan mengatakan,
"Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu, dan aku menghadap kepadaMu dengan (perantara) NabiMu, seorang Nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap dengan (perantara)mu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar dipenuhiNya untukku. Ya Allah jadikanlah ia pemberi syafaat kepadaku, dan berilah aku syafaat (pertolongan) di dalamnya." la berkata, "Laki-laki itu kemudian melakukannya, sehingga ia sembuh." (HR. Ahmad, hadis shahih)
Hadis di atas mengandungi pengertian bahawa Rasulullah SAW berdoa untuk laki-laki buta tersebut dalam keadaan beliau masih hidup. Maka Allah swt mengabulkan doanya.
Rasulullah SAW memerintahkan orang tersebut agar berdoa untuk dirinya. Menghadap kepada Allah swt untuk meminta kepadaNya agar Dia menerima syafaat NabiNya. Maka Allah pun menerima doanya.
Doa ini khusus ketika Nabi masih hidup. Dan tidak mungkin berdoa dengannya setelah beliau wafat. Sebab para sahabat tidak melakukan hal itu. Juga, orang-orang buta lainnya tidak ada yang mendapatkan manfaat dengan doa itu, setelah terjadinya peristiwa tersebut.